Friday, September 18, 2015

Mohamad Bondan : Eks Digulis dan Pergerakan Nasional

Aktif ikut dalam memperjuangkan kemerdekaan sejak muda, Bondan sudah sejak usia remaja mempunyai hasrat ingin bergabung dengan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Barulah pada saat umur 18 tahun, sebagai batas minimum seseorang ikut bergabung disebuah organisasi non pemerintahan Belanda, Bondan memutuskan bergabung dengan PNI yang pada kongres 27-30 Mei 1923 berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia.

Keaktivannya di PNI inilah, yang harus dibayar mahal. Pada tahun 1929 dia ditahan dan diasingkan ke Tanah Merah di Boven Digul Papua, bersama tokoh pergerakan lainnya, Bung Hatta dan Sutan Sjahrir sebagai tahanan politik. Hal ini merupakan tindakan drastis  dari pihak kolonial untuk menangkapi semua anggota pengurus PNI di seluruh Indonesia, baik di tingkat pusat maupun cabang. Hal inilah yang terulang kembali pada tahun 1935, dimana tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan seperti Sjahrir, Hatta, Maskun, Burhanudin, beserta Bondan diasingkan kembali ke Boven Digul, Papua, agar mereka sulit untuk membangun komunikasi dan jaringan politik dengan tokoh pergerakan lainnya.


Berbeda dengan Bung Hatta dan Sjahrir yang hanya di tahan selama setahun sebelum dipindahkan ke Bangka, Bondan tetap berada di Digul sebelum akhirnya pada tahun 1943 para warga Digul dievakuasi ke Australia karena meletusnya perang Dunia ke II.Hal ini tidak lepas karena saat itu,  Tanah Merah terkadang didatangi pesawat jepang yang sering memuntahkan peluru-pelurunya dari senapan mesin dan kadang-kadang mereka juga menjatuhkan bom untuk menghantam radio atau kapal yang kebetulan sedang berlabuh membongkar muatan bahan makanan.

Dalam situasi demikianlah penguasa Belanda yang diwakili Van der Plas merencanakan pengungsian orang buangan ke luar negeri. Mulai tanggal 29 Mei dan berakhir tanggal 10 juni 1943. Pada mulanya Pemerintah Belanda memanipulasi bahwa tapol dari Digul disebutkan sebagai tawanan perang yang pro-Jepang. Namun lama-kelamaan hal ini terbongkar dan menimbulkan amarah public di Australia. Pemerintah Australia sendiri kemudian membebaskan para tapol untuk keluar dari tangsi tahanan dan memberikan kebebasan buat para tapol untuk mencari pekerjaan di Australia.

Pada tahun 1945, Bondan mendengar Soekarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Bondan dan rekan-rekannya mengorganisir diri membentuk Komite Indonesia Merdeka (KIM) di Brisbane yang bertugas untuk memberi dukungan pada Negara Indonesia yang baru merdeka. Sedangkan para pelaut Indonesia mendirikan SARPELINDO (Serikat Pelaut Indonesia) yang kemudian menjalin hubungan baik dengan serikat Buruh Australia untuk melakukan pemogokan terhadap kapal-kapal Belanda. KIM ini terus berkembang di beberapa kota lain sehingga kemudian dibentuk CENKIM (Central Komite Indonesia Merdeka) untuk mengorganisirnya.

CENKIM ini kemudian bertugas menjadi corong informasi tentang perkembangan di Indonesia, membangun hubungan diplomatic informal dengan Australia, membangun hubungan dagang (walau kurang berkembang karena Indonesia masih bergejolak), mengatur pemulangan para tapol ke tanah air hingga melakukan penggalanagan bantuan kemanusiaan korban perang revolusi kemerdekaan. CENKIM mempunyai peran strategis dalam membangun hubungan baik Indonesia – Australia. Melalui CENKIM ini, Bondan dan Molly yang saat itu bekerja sebagai volunteer di CENKIM , dipertemukan dan menikah tahun 1946. Molly yang sejak semula simpati dengan perjuangan bangsa Indonesia kemudian ikut pindah ke Indonesia tahun 1947. Di tanah air, kota Yogyakarta adalah tujuan pertama, mengingat tahun 1947, pemerintahan pusat memang dipindah di Yogya.

Sepulang dari perjuangan di Australia, Bondan kemudian mengabdikan diri menjadi Pegawai Negeri Sipil di Departemen Perburuhan untuk urusan pelatihan dan pengembangan kualitas SDM. Walaupun hanya berpendidikan HIS, namun orang mengakui dedikasi, perjuangan dan pengalaman Bondan. Sedangkan Molly mengabdikan diri menjadi pegawai Departemen Penerangan, dialah yang nantinya dipercaya oleh Bung Karno untuk menerjemahkan setiap Pidatonya ke dalam bahasa Inggris. Hal ini terjadi yakni setelah penerjemah terdahulu, yakni Tom dan Renee Atkinson pulang ke negaranya, Inggris. Sejak itu, Molly-lah satu-satunya petugas penerjemah pidato Bung Karno ke dalam bahasa Inggris.

Namun, sisa-sisa penyakit malaria hitam yang diperolehnya di Digul membuat Bondan beberapa kali jatuh sakit dan mengalami gangguan pendengaran. Bondan akhirnya meninggal tahun 1990 setelah menderita kanker paru-paru akut. Dia meninggalkan Alit (anak dari perkawinannya dengan Molly) dan Uwoh (anak dari pernikahannya dengan istri pertamanya yakni Dedeh yang diceraikannya ketika Bondan berada di tahanan Digul). 

Oleh : Syamsul Arifin (Syamsul008)

No comments:

Post a Comment