Sebelum 1 Oktober 1965, nama soeharto tidak banyak dikenal atau
disebut-sebut orang. Namanya tiba-tiba muncul kepermukaan setelah atas
inisiatifnya sendiri sebagai Panglima Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat
(Pangkostrad) mengambil alih pimpinan Angkatan Darat menyusul aksi penjemputan
paksa enam perwira tinggi Angkatan Darat oleh G30S (James Lahulima, 2007 : 39).
Menurut kesaksian kolonel Abdul Latief, sebenarnya Soeharto telah
mengetahui rencana penculikan para jendral beberapa hari sebelum 30 September
1965. Kolonel Abdul Latief melaporkan kepada soeharto bahwa dini hari tanggal 1
oktober akan dilancarkan operasi atau gerakan untuk menggagalkan rencana kudeta
Dewan jendral. Soeharto ketika itu berada di RSPAD Gatot Soebroto mendampingi
putranya Hutomo Mandala Putra (Tommy) yang terbaring sakit. Menurut Abdul
Latief, Soeharto tidak melarang atau mencegahnya untuk melakukan operasi
"pengambilan" tersebut. Sebelumnya Soeharto juga mendapat informasi
dari salah seorang bekas anak buahnya di Yogyakarta bernama Subagyo mengenai
Dewan Jendral yang hendak melakukan coup d'etat terhadap Presiden Soekarno pada tanggal 5
oktober 1965.
Menurut John Rossa, Soeharto menggunakan G30S sebagai dalih untuk
merongrong legitimasi Soekarno sambil melambungkan dirinya ke kursi
kepresidenan. Pengambilan kekuasaan negara secara bertahap di bawah selubung
usaha untuk mencegah kudeta oleh Soeharto ini disebut kudeta merangkak. Jika
bagi presiden Soekarno aksi G30S ini disebut riak kecil di tengah samudera
besar revolusi dan peristiwa kecil yang dapat diselesaikan dengan tenang tanpa
menimbulkan guncangan besar terhadap struktur kekuasaan, maka bagi Soeharto
peristiwa itu merupakan tsunami pengkhianatan dan kejahatan yang menyingkapkan
adanya kesalahan yang sangat besar pada pemerintahan Soekarno. Soeharto menuduh
Partai Komunis Indonesia mendalangi G30S dan selanjutnya menyusun rencana
pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan partai itu. Tentara
Soeharto menangkapi 1,5 juta labih orang
yang dituduh terlibat dalam G30S. Ratusan ribu orang dibantai angkatan Darat
dan milisi yang berafiliasi dengannya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dari
akhir tahun 1965 sampai pertengahan 1966 dalam salah satu pertumpahan darah
terburuk di abad ke-20 (John Rossa, 2008 : 4-5)
Setelah berhasilnya Soeharto menumpas Partai Komunis Indonesia yang
dianggapnya sebagai dalang dari peristiwa G30S, nama Soeharto melambung tinggi.
Dia dianggap sebagai pahlawan yang muncul dalam krisis kepercayaan yang terjadi
pada masa itu. Soeharto berhasil meyakinkan semua pihak bahwa ia bukan jenderal
biasa. Ia terbukti mampu mengatasi berbagai komplikasi politik yang bermunculan
menyusul peristiwa G30S. Dalam waktu singkat, ia pun berhasil menjinakkan semua
lawan politik potensial, sehingga konsolidasi kekuasaan dapat segera
diwujudkan. Karenanya, Soeharto bisa diterima semua pihak sebagai pemimpin baru
pasca tragedi September 1965.
Rezim Orde Baru dibangun atas dasar peranannya sebagai pemulih tata
tertib. Pembantaian yang dilakukan terhadap masyarakat yang dianggap terlibat
dalam peristiwa G30S dipakai untuk membentuk citra Orde Lama dipikiran publik
sebagai periode kekacauan dan huru-hara. Sehingga terbentuk anggapan bahwa
munculnya Orde Baru dan Soeharto sebagai jawaban dan solusi dari peristiwa
kelam tersebut. Orde Baru memperalat memori sejarah dengan tidak menonjolkan
pembunuhan dalam sejarah resminya untuk mengukuhkan kebsahannya sendiri. Dalam
perjalanannya, Orde Baru banyak mengeluarkan versi-versi sejarah yang terjadi
dengan menonjolkan sisi kebaikan yang dilakukan pada masanya dan sisi keburukan
yang dilakukan oleh rezim Orde Lama serta Partai Komunis Indonesia. Serta
memperlihatkan bawah kekacauan yang terjadi pada 1965 merupakan kekacauan yang
terjadi akibat kekacauan yang dilakukan oleh Orde Lama dan bukan permulaan Orde
Baru.
Pada tahun-tahun awal kekuasaannya, banyak yang mengira Soeharto
tidak akan mempertahankan kekuasannya untuk jangka waktu yang lama. Seiring
berjalannya waktu, ternyata Soeharto memiliki kemampuan politik yang sangat
tinggi (Edward Aspinal, Herbert Feith, dan Gerry van Klinken, 2000 : 3). Baru kemudian disadari, masa jabatannya sudah jauh
melampaui Presiden Soekarno, yang ia gantikan setelah lebih dulu memereteli
kekuasaannya. Baru belakangan banyak yang terhenyak atas fakta bahwa
pemerintahan Orde Baru ternyata salah satu rezim otoriter di dunia yang paling
lama berkuasa. Bahkan menjadikan Soeharto sebagai pemimpin di negara Demokratis terlama di dunia.
Untuk mencapai pemerintahan yang begitu lamanya tanpa ada gangguan dari rival politiknya, Soeharto menggunakan beberapa cara terutama kaitannya dengan posisi strategis kepemimpinan yang diisi orang kepercayaannya. Dalam menjalankan kekuasaannya, pemerintahan Orde Baru mendapatkan
dukungan yang sangat besar dari pihak militar yang pada saat itu dikenal dengan
sebutan ABRI. Dukungan militer tidak hanya menjadi pemain politik yang utama
melainkan juga ikut membangun format politik Orde Baru untuk kemudian aktif
mempertahankannya selama lebih dari tiga dekade merupakan basis kekuatan
Soeharto selama 32 tahun kekuasaannya. Sehingga ketika masuk ke masa reformasi, barulah disadari hal ini sangatlah tidak fair dan menyalahi aturan yang ada. Tidak sepantasnya ABRI memainkan peran dalam dua tugas yang bertolak belakang, memainkan peran dalam keamanan Negara juga menjadi pucuk pimpinan yang harusnya diambil oleh kalangan sipil.
Kamampuan Soeharto mengendalikan militer untuk sebagian berasal
dari kepiawaiannya memainkan politik mutasi dan pertukaran loyalitas-imbalan
secara personal di antara para perwira militer. Bagian terbesar berasal dari
keberhasilannya membentuk format politik yang melembagakan peranan formal
militer dengan memberik hak-hak istimewa pada perwira militer atas
keikutsertaan mereka dalam urusan-urusan politik sipil, sosial, dan ekonomi.
ABRI dalam perpolitikan dilegitimasi oleh kerangka hukum dan
ideologi yang diamalkan oleh para prajurit sekaligus melindungi mereka dari
kecaman politik karena dianggap tidak absah. Pada masa ini ABRI memiliki peran
yang dikenal sebagai "Dwifungsi ABRI" dengan berbagai ketentuan hukum
yang mengikutinya. Sehingga ABRI memiliki peran yang sangat besar dalam kancah
perpolitikan pada masa Orde Baru ini. Ditangan Soeharto Dwifungsi ABRI dipahami
sebagai kekaryaan dengan keterlibatan militer dalam kehidupan politik dan
urusan sipil di tantanan birokrasi. Sehingga banyak menteri, duta besar,
gubernur, wali kota, dan bupati yang berasal dari kalangan perwira militer baik
masih aktif maupun sudah pensiun.
Selain itu, birokrasi sipil juga tidak terhidar dari
kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Soeharto untuk ikut aktif
dalam dunia perpolitikan. Birokrasi rezim Soeharto berfungsi melayani
kepentingan pembuat keputusan. Perilaku hanya untuk melayani dan melanggengkan
kekuasaan Soeharto dan menempatkan kepentingan masyarakat pada prioritas yang
lebih rendah karena tidak merasa ada keterkaitan dengan masyarakat. Yang
kemudian Soeharto berhasil memanfaatkan barisan militer dan birokrasi sipil
sebagai mesin politiknya. Pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia melalui
asas monoloyalitas telah mengikat pegawa negeri setia kepada Golongan Karya.
Apalagi dengan adanya Peraturan Menteri 12 dan PP No. 6/1970 melarang pegawai
Negeri termasuk ABRI didalamnya terlibat dalam kegiatan partai Politik dan
menuntut adanya loyalitas tunggal terhadap pemerintah. Ini berarti dalam setiap
pemilu yang dilakukan pada masa Orde Baru, Golkar selalu mendapatkan dukungan
yang sangat besar dan menempati wakil-wakilnya yang sangat banyak di dalam
parlemen.
Kebijakan selanjutnya dalam mempertahankan kekuasaannya, Soeharto
mengeluarkan kebijakan agar partai-partai politik melakukan fusi pada tahun
1973. Hanya ada dua partai sebagai perwakilan dari Nasionalis (PDI) dan agamis
(PPP) ditambah Golkar yang sudah diketahui sebagai mesin politik pemerintah.
Dengan adanya fusi partai tersebut, intervensi militer terhadap partai politik
sangatlah besar. Hal ini dilakukan guna tidak akan terjadinya pembangkangan dan
oposisi dalam proses politik di parlemen.
Sementara itu, potensi masyarakat sipil sebagai kekuatan koreksi
dan pengontrol terhadap kekuasaan pemerintahan ditumpulkan dan dikebiri melalui
pembentukan organisasi-organisasi perwakilan elemen masyarakat tunggal. Bahkan
bila dipandang perlu, para purnawirawan militer ditempatkan sebagai ketua
organisasi kemasyarakatan. Dan Apabila terjadi perkumpulan tanpa ijin dari
militer dan pemerintah, hal ini akan dianggap makar dan akan ditangkap oleh
pihak militer.
Selama Orde Baru berkuasa telah terselenggarakan enam kali pemilu,
yaitu pemilu 1971, pemilu 1977, pemilu 1982, pemilu 1987, pemilu 1992, dan
pemilu 1997. Keberkalaan pemilu yang dilakukan selama lima tahun sekali,
kecuali pada pemilu 1977 ini secara formal merupakan suatu prestasi yang luar
biasa. Apalagi dengan adanya tingkat partisipasi hampir mendekati 90 persen
setiap pelaksanaan pemilu.
Dalam pemilu yang dilakukan Orde Baru, selalu dimenangkan oleh
Golkar. Hal ini tidak lepas dari peran Militer dan birokrasi sipil yang sudah
dijelaskan dibagian atas tadi. Karena hal tersebut, melahirkan sistem
kepartaian yang hegemonik. Golkar begitu sangat dominan, dan partai lain serasa
hanya sebagai pelengkap dan formalitas belaka. Peranan parta-partai politik
dibuat seminimal mungkina dalam pembentukan pendapat umum. Partai-partai
tersebut hanya menjadi partai kelas dua dan sekedar diberi lisensi dengan
tujuan agar Golkar tetap menjadi pemenang dalam setiap pemilu dan tetap
berkuasa. Sehingga mayoritas parlemen yang berasal dari Golakar, membuat
Soeharto selalu memenangkan pemilihan Presiden setiap diadakan pemilihan
presiden di MPR.
Pada masa Orde Baru kata "Pembangunan" menjadi semacam
ideologi baru yang dikampanyekan oleh para pejabat dan memberikan legitimasi
tindakan rezim Orde Baru Soeharto untuk membedakannya dengan Orde Lama
Soekarno. Seiring dengan propaganda
tentang pentingnya mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 dalam semua
aspek kehidupan sosial-politik. Pada rezim ini Pancasila diposisikan sebagai
antitesis terhadap semua bentuk ajaran marxisme-leninisme yang sepenuhnya
dilarang. Pembangunan sepenuhnya dipandang sebagai sebuah cara yang paling
benar untuk mengimplementasikan Pancasilan dan setiap orang di negeri ini wajib
untuk mendukungnya. Seseorang bisa saja ditangkap dan dipenjarakan dengan
tuduhan "anti-Pancasila" atau "anti-Pembangunan" yang
menjadi jargon politik yang efektif untuk menghabisi lawan-lawan politik rezim
dengan cara otoriter. (Syamsul Hadi, 2005 : 159-160).
Soeharto berada pada puncak kekuasaannya di pertengahan era
1980-an. Tak ada keputusan yang berdampak cukup luas dapat diambil tanpa
persetujuaanya. Legitimasinya sebagai penyelenggara pembangunan perekonomian
pun semakin kuat saat menyurutnya ancaman keambrukan perekonomian akibat
anjloknya harga minyak. Pertumbuhan ekonomi maju pesat di bawah rezim Soeharto,
tetapi pada saat yang sama Indonesia menjadi salah satu negara paling korup di
dunia dengan elite kecil sebagai penjarah kekayaan negara. Ini merupakan sebuah
paradoks perkembangan ekonomi terjadi di
negara yang digerogoti korupsi dan praktek rent-seeking yang massif, sistematis
dan endemik yang seharusnya mengganggu bekerjanya ekonomi pasar secara
substansial. Soeharto belajar dari kegagalan rezim Soekarno yang berahir dengan
kekacauan ekonomi.
Dalam kebijakannya di bidang ekonomi, Soeharto mempnyai hubungan
dekat dengan para pengusaha Tionghoa untuk memobilisasi modal yang besar,
keterampilan dan pengetahuan untuk mengembangkan berbagai proyek dan perusahaan
baru. Di bawah rezim Orde Baru hubungan dengan mereka sangat baik melalu kerja
sama untuk mengembangkan berbagai proyek pembangunan yang selalu didengungkan
oleh pemerintah. Pada masa ini
investor-investor asing berduyun-duyun masuk ke Indonesia dengan sambutan
terbuka dari pemerintah Orde Baru. Hal ini tidak terlepas dari dibukanya kran
Investasi asing yang dibuka oleh pemerintah Soeharto, yang sebelumnya di larang
oleh rezim Soekarno dengan disusunnya UU investasi asing pada tahun 1967. Hal
inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya peristiwa Malari pada 15 Januari
1974 sebagai protes terhadap kontrol dan kepemilikan asing di Indonesia.
Setelah melewati kejayaan ekonomi pada tahun 1966 sampai 1996 yang
disokong oleh stabilitas politik. Krisis
Asia dan Dunia pada akhir 1990-an menghantam Indonesia secara mengejutkan.
Hanya sedikit ahli yang memprediksikan bahwa krisis tersebut juga akan
terjadinya di Indonesia. Yang kemudian membuat pemerintah berpaling kepada Dana
Moneter Internasional (IMF) untuk melakukan konsultasi dan mendatangkan sebuah
paket penyelamatan pada 31 Oktober 1997 karena tidak mampu mengatasi krisis
tersebut.
Krisis ekonomi ini yang kemudian membangunkan "macan
tidur" yang bagi pemerintah tidak pernah diduga, yaitu gerakan mahasiswa
yang menemukan momentumnya . Mahasiswa mulai bergerak dengan tuntutan awalnya
penurunan harga. Isu ekonomi tersebut yang kemudian berkembang secara politis
dan berkembang untuk menurunkan presiden Soeharto sekaligus pencabutan
dwifungsi ABRI.
Setelah maraknya gerakan mahasiswa di pertengahan mei 1998, gerakan
berubah arah menjadi kerusuhan. Ribuan gedung terbakar, ratusan manusia
terpanggang dan tewas seketika. Ratusan penduduk asing meninggalkan Indonesia.
Sementara penduduk WNI non pribmi berada dalam kondisi yang sangat ketakutan
akibat teror dan kekerasan tidak ubahnya seperti sedang berlangsungnya sebuah
perang sipil. Para pendudukan keturunan Tionghoa menjadi pelampiasan dari para
perusuh yang menganggap bahwa mereka sebagai dalang dan penguasan perekonomian
di Indonesia selama ini.
Tewasnya empat mahasiswa pada 12 mei 1998 menjadi sumbu yang
meledakkan suasana. Ketika Presiden Soeharto kembali ke Jakarta dari Kairo pada
15 Mei pagi hari, Jakarta dalam keadaan perang saudara. Seruan agar ia turun
datang dari berbagai penjuru. Setelah mencoba dengan sia-sia untuk memulihkan
wewenangnya, presiden Soeharto mengaku kalah pada 21 Mei 1998. Presiden memilih
jalan konstitusional dengan mengacu pada pasa 8 UUD 1945, ia menyatakan tidak
sanggup lagi menjalankan tugasnya sebagai presiden dan menyerahkan jabatannya
kepada Wakil Presiden B.J. Habibie (Lambert Giebels, 2005 : 258-261).
Berita pengunduran diri Soeharto segera menjadi berita dunia.
Berbagai media menggambarkan bahwa seorang politis besar dunia era Perang
Dingin telah turun takhta. Untuk pertama kalinya selama 32 tahun, Indonesia
harus tumbuh tanpa dipimpin oleh Soeharto lagi. Kejadian ini sungguh dramatis.
Tiga bulan sebelumnya, tak ada pengamat politik yang paling optimis sekalipun
membanyangkan Soeharto akan turun dari kekuasaannya secepat ini. Begitu banyak
manuver politik di Indonesia terjadi di luar dugaan. (Denny J.A, 2006 :20)
Oleh : Syamsul Arifin (Syamsul008)
Oleh : Syamsul Arifin (Syamsul008)
No comments:
Post a Comment