Sunday, December 28, 2014

Resensi Buku SOEHARTO : Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?



Sebelum 1 Oktober 1965, nama soeharto tidak banyak dikenal atau disebut-sebut orang. Namanya tiba-tiba muncul kepermukaan setelah atas inisiatifnya sendiri sebagai Panglima Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) mengambil alih pimpinan Angkatan Darat menyusul aksi penjemputan paksa enam perwira tinggi Angkatan Darat oleh G30S (James Lahulima, 2007 : 39).

Menurut kesaksian kolonel Abdul Latief, sebenarnya Soeharto telah mengetahui rencana penculikan para jendral beberapa hari sebelum 30 September 1965. Kolonel Abdul Latief melaporkan kepada soeharto bahwa dini hari tanggal 1 oktober akan dilancarkan operasi atau gerakan untuk menggagalkan rencana kudeta Dewan jendral. Soeharto ketika itu berada di RSPAD Gatot Soebroto mendampingi putranya Hutomo Mandala Putra (Tommy) yang terbaring sakit. Menurut Abdul Latief, Soeharto tidak melarang atau mencegahnya untuk melakukan operasi "pengambilan" tersebut. Sebelumnya Soeharto juga mendapat informasi dari salah seorang bekas anak buahnya di Yogyakarta bernama Subagyo mengenai Dewan Jendral yang hendak melakukan coup d'etat  terhadap Presiden Soekarno pada tanggal 5 oktober 1965.

Menurut John Rossa, Soeharto menggunakan G30S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Soekarno sambil melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan. Pengambilan kekuasaan negara secara bertahap di bawah selubung usaha untuk mencegah kudeta oleh Soeharto ini disebut kudeta merangkak. Jika bagi presiden Soekarno aksi G30S ini disebut riak kecil di tengah samudera besar revolusi dan peristiwa kecil yang dapat diselesaikan dengan tenang tanpa menimbulkan guncangan besar terhadap struktur kekuasaan, maka bagi Soeharto peristiwa itu merupakan tsunami pengkhianatan dan kejahatan yang menyingkapkan adanya kesalahan yang sangat besar pada pemerintahan Soekarno. Soeharto menuduh Partai Komunis Indonesia mendalangi G30S dan selanjutnya menyusun rencana pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan partai itu. Tentara Soeharto menangkapi 1,5 juta  labih orang yang dituduh terlibat dalam G30S. Ratusan ribu orang dibantai angkatan Darat dan milisi yang berafiliasi dengannya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dari akhir tahun 1965 sampai pertengahan 1966 dalam salah satu pertumpahan darah terburuk di abad ke-20 (John Rossa, 2008 : 4-5)

Setelah berhasilnya Soeharto menumpas Partai Komunis Indonesia yang dianggapnya sebagai dalang dari peristiwa G30S, nama Soeharto melambung tinggi. Dia dianggap sebagai pahlawan yang muncul dalam krisis kepercayaan yang terjadi pada masa itu. Soeharto berhasil meyakinkan semua pihak bahwa ia bukan jenderal biasa. Ia terbukti mampu mengatasi berbagai komplikasi politik yang bermunculan menyusul peristiwa G30S. Dalam waktu singkat, ia pun berhasil menjinakkan semua lawan politik potensial, sehingga konsolidasi kekuasaan dapat segera diwujudkan. Karenanya, Soeharto bisa diterima semua pihak sebagai pemimpin baru pasca tragedi September 1965.

Rezim Orde Baru dibangun atas dasar peranannya sebagai pemulih tata tertib. Pembantaian yang dilakukan terhadap masyarakat yang dianggap terlibat dalam peristiwa G30S dipakai untuk membentuk citra Orde Lama dipikiran publik sebagai periode kekacauan dan huru-hara. Sehingga terbentuk anggapan bahwa munculnya Orde Baru dan Soeharto sebagai jawaban dan solusi dari peristiwa kelam tersebut. Orde Baru memperalat memori sejarah dengan tidak menonjolkan pembunuhan dalam sejarah resminya untuk mengukuhkan kebsahannya sendiri. Dalam perjalanannya, Orde Baru banyak mengeluarkan versi-versi sejarah yang terjadi dengan menonjolkan sisi kebaikan yang dilakukan pada masanya dan sisi keburukan yang dilakukan oleh rezim Orde Lama serta Partai Komunis Indonesia. Serta memperlihatkan bawah kekacauan yang terjadi pada 1965 merupakan kekacauan yang terjadi akibat kekacauan yang dilakukan oleh Orde Lama dan bukan permulaan Orde Baru.

Pada tahun-tahun awal kekuasaannya, banyak yang mengira Soeharto tidak akan mempertahankan kekuasannya untuk jangka waktu yang lama. Seiring berjalannya waktu, ternyata Soeharto memiliki kemampuan politik yang sangat tinggi (Edward Aspinal, Herbert Feith, dan Gerry van Klinken, 2000 : 3). Baru kemudian disadari, masa jabatannya sudah jauh melampaui Presiden Soekarno, yang ia gantikan setelah lebih dulu memereteli kekuasaannya. Baru belakangan banyak yang terhenyak atas fakta bahwa pemerintahan Orde Baru ternyata salah satu rezim otoriter di dunia yang paling lama berkuasa. Bahkan menjadikan Soeharto sebagai pemimpin di negara Demokratis terlama di dunia.

Untuk mencapai pemerintahan yang begitu lamanya tanpa ada gangguan dari rival politiknya, Soeharto menggunakan beberapa cara terutama kaitannya dengan posisi strategis kepemimpinan yang diisi orang kepercayaannya. Dalam menjalankan kekuasaannya, pemerintahan Orde Baru mendapatkan dukungan yang sangat besar dari pihak militar yang pada saat itu dikenal dengan sebutan ABRI. Dukungan militer tidak hanya menjadi pemain politik yang utama melainkan juga ikut membangun format politik Orde Baru untuk kemudian aktif mempertahankannya selama lebih dari tiga dekade merupakan basis kekuatan Soeharto selama 32 tahun kekuasaannya. Sehingga ketika masuk ke masa reformasi, barulah disadari hal ini sangatlah tidak fair dan menyalahi aturan yang ada. Tidak sepantasnya ABRI memainkan peran dalam dua tugas yang bertolak belakang, memainkan peran dalam keamanan Negara juga menjadi pucuk pimpinan yang harusnya diambil oleh kalangan sipil. 

Kamampuan Soeharto mengendalikan militer untuk sebagian berasal dari kepiawaiannya memainkan politik mutasi dan pertukaran loyalitas-imbalan secara personal di antara para perwira militer. Bagian terbesar berasal dari keberhasilannya membentuk format politik yang melembagakan peranan formal militer dengan memberik hak-hak istimewa pada perwira militer atas keikutsertaan mereka dalam urusan-urusan politik sipil, sosial, dan ekonomi.

ABRI dalam perpolitikan dilegitimasi oleh kerangka hukum dan ideologi yang diamalkan oleh para prajurit sekaligus melindungi mereka dari kecaman politik karena dianggap tidak absah. Pada masa ini ABRI memiliki peran yang dikenal sebagai "Dwifungsi ABRI" dengan berbagai ketentuan hukum yang mengikutinya. Sehingga ABRI memiliki peran yang sangat besar dalam kancah perpolitikan pada masa Orde Baru ini. Ditangan Soeharto Dwifungsi ABRI dipahami sebagai kekaryaan dengan keterlibatan militer dalam kehidupan politik dan urusan sipil di tantanan birokrasi. Sehingga banyak menteri, duta besar, gubernur, wali kota, dan bupati yang berasal dari kalangan perwira militer baik masih aktif maupun sudah pensiun.

Selain itu, birokrasi sipil juga tidak terhidar dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Soeharto untuk ikut aktif dalam dunia perpolitikan. Birokrasi rezim Soeharto berfungsi melayani kepentingan pembuat keputusan. Perilaku hanya untuk melayani dan melanggengkan kekuasaan Soeharto dan menempatkan kepentingan masyarakat pada prioritas yang lebih rendah karena tidak merasa ada keterkaitan dengan masyarakat. Yang kemudian Soeharto berhasil memanfaatkan barisan militer dan birokrasi sipil sebagai mesin politiknya. Pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia melalui asas monoloyalitas telah mengikat pegawa negeri setia kepada Golongan Karya. Apalagi dengan adanya Peraturan Menteri 12 dan PP No. 6/1970 melarang pegawai Negeri termasuk ABRI didalamnya terlibat dalam kegiatan partai Politik dan menuntut adanya loyalitas tunggal terhadap pemerintah. Ini berarti dalam setiap pemilu yang dilakukan pada masa Orde Baru, Golkar selalu mendapatkan dukungan yang sangat besar dan menempati wakil-wakilnya yang sangat banyak di dalam parlemen.

Kebijakan selanjutnya dalam mempertahankan kekuasaannya, Soeharto mengeluarkan kebijakan agar partai-partai politik melakukan fusi pada tahun 1973. Hanya ada dua partai sebagai perwakilan dari Nasionalis (PDI) dan agamis (PPP) ditambah Golkar yang sudah diketahui sebagai mesin politik pemerintah. Dengan adanya fusi partai tersebut, intervensi militer terhadap partai politik sangatlah besar. Hal ini dilakukan guna tidak akan terjadinya pembangkangan dan oposisi dalam proses politik di parlemen.

Sementara itu, potensi masyarakat sipil sebagai kekuatan koreksi dan pengontrol terhadap kekuasaan pemerintahan ditumpulkan dan dikebiri melalui pembentukan organisasi-organisasi perwakilan elemen masyarakat tunggal. Bahkan bila dipandang perlu, para purnawirawan militer ditempatkan sebagai ketua organisasi kemasyarakatan. Dan Apabila terjadi perkumpulan tanpa ijin dari militer dan pemerintah, hal ini akan dianggap makar dan akan ditangkap oleh pihak militer.

Selama Orde Baru berkuasa telah terselenggarakan enam kali pemilu, yaitu pemilu 1971, pemilu 1977, pemilu 1982, pemilu 1987, pemilu 1992, dan pemilu 1997. Keberkalaan pemilu yang dilakukan selama lima tahun sekali, kecuali pada pemilu 1977 ini secara formal merupakan suatu prestasi yang luar biasa. Apalagi dengan adanya tingkat partisipasi hampir mendekati 90 persen setiap pelaksanaan pemilu.

Dalam pemilu yang dilakukan Orde Baru, selalu dimenangkan oleh Golkar. Hal ini tidak lepas dari peran Militer dan birokrasi sipil yang sudah dijelaskan dibagian atas tadi. Karena hal tersebut, melahirkan sistem kepartaian yang hegemonik. Golkar begitu sangat dominan, dan partai lain serasa hanya sebagai pelengkap dan formalitas belaka. Peranan parta-partai politik dibuat seminimal mungkina dalam pembentukan pendapat umum. Partai-partai tersebut hanya menjadi partai kelas dua dan sekedar diberi lisensi dengan tujuan agar Golkar tetap menjadi pemenang dalam setiap pemilu dan tetap berkuasa. Sehingga mayoritas parlemen yang berasal dari Golakar, membuat Soeharto selalu memenangkan pemilihan Presiden setiap diadakan pemilihan presiden di MPR.

Pada masa Orde Baru kata "Pembangunan" menjadi semacam ideologi baru yang dikampanyekan oleh para pejabat dan memberikan legitimasi tindakan rezim Orde Baru Soeharto untuk membedakannya dengan Orde Lama Soekarno. Seiring dengan propaganda  tentang pentingnya mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 dalam semua aspek kehidupan sosial-politik. Pada rezim ini Pancasila diposisikan sebagai antitesis terhadap semua bentuk ajaran marxisme-leninisme yang sepenuhnya dilarang. Pembangunan sepenuhnya dipandang sebagai sebuah cara yang paling benar untuk mengimplementasikan Pancasilan dan setiap orang di negeri ini wajib untuk mendukungnya. Seseorang bisa saja ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan "anti-Pancasila" atau "anti-Pembangunan" yang menjadi jargon politik yang efektif untuk menghabisi lawan-lawan politik rezim dengan cara otoriter. (Syamsul Hadi, 2005 : 159-160).

Soeharto berada pada puncak kekuasaannya di pertengahan era 1980-an. Tak ada keputusan yang berdampak cukup luas dapat diambil tanpa persetujuaanya. Legitimasinya sebagai penyelenggara pembangunan perekonomian pun semakin kuat saat menyurutnya ancaman keambrukan perekonomian akibat anjloknya harga minyak. Pertumbuhan ekonomi maju pesat di bawah rezim Soeharto, tetapi pada saat yang sama Indonesia menjadi salah satu negara paling korup di dunia dengan elite kecil sebagai penjarah kekayaan negara. Ini merupakan sebuah paradoks perkembangan ekonomi  terjadi di negara yang digerogoti korupsi dan praktek rent-seeking yang massif, sistematis dan endemik yang seharusnya mengganggu bekerjanya ekonomi pasar secara substansial. Soeharto belajar dari kegagalan rezim Soekarno yang berahir dengan kekacauan ekonomi.

Dalam kebijakannya di bidang ekonomi, Soeharto mempnyai hubungan dekat dengan para pengusaha Tionghoa untuk memobilisasi modal yang besar, keterampilan dan pengetahuan untuk mengembangkan berbagai proyek dan perusahaan baru. Di bawah rezim Orde Baru hubungan dengan mereka sangat baik melalu kerja sama untuk mengembangkan berbagai proyek pembangunan yang selalu didengungkan oleh pemerintah.  Pada masa ini investor-investor asing berduyun-duyun masuk ke Indonesia dengan sambutan terbuka dari pemerintah Orde Baru. Hal ini tidak terlepas dari dibukanya kran Investasi asing yang dibuka oleh pemerintah Soeharto, yang sebelumnya di larang oleh rezim Soekarno dengan disusunnya UU investasi asing pada tahun 1967. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya peristiwa Malari pada 15 Januari 1974 sebagai protes terhadap kontrol dan kepemilikan asing di Indonesia.

Setelah melewati kejayaan ekonomi pada tahun 1966 sampai 1996 yang disokong oleh stabilitas politik.  Krisis Asia dan Dunia pada akhir 1990-an menghantam Indonesia secara mengejutkan. Hanya sedikit ahli yang memprediksikan bahwa krisis tersebut juga akan terjadinya di Indonesia. Yang kemudian membuat pemerintah berpaling kepada Dana Moneter Internasional (IMF) untuk melakukan konsultasi dan mendatangkan sebuah paket penyelamatan pada 31 Oktober 1997 karena tidak mampu mengatasi krisis tersebut.

Krisis ekonomi ini yang kemudian membangunkan "macan tidur" yang bagi pemerintah tidak pernah diduga, yaitu gerakan mahasiswa yang menemukan momentumnya . Mahasiswa mulai bergerak dengan tuntutan awalnya penurunan harga. Isu ekonomi tersebut yang kemudian berkembang secara politis dan berkembang untuk menurunkan presiden Soeharto sekaligus pencabutan dwifungsi ABRI.

Setelah maraknya gerakan mahasiswa di pertengahan mei 1998, gerakan berubah arah menjadi kerusuhan. Ribuan gedung terbakar, ratusan manusia terpanggang dan tewas seketika. Ratusan penduduk asing meninggalkan Indonesia. Sementara penduduk WNI non pribmi berada dalam kondisi yang sangat ketakutan akibat teror dan kekerasan tidak ubahnya seperti sedang berlangsungnya sebuah perang sipil. Para pendudukan keturunan Tionghoa menjadi pelampiasan dari para perusuh yang menganggap bahwa mereka sebagai dalang dan penguasan perekonomian di Indonesia selama ini.

Tewasnya empat mahasiswa pada 12 mei 1998 menjadi sumbu yang meledakkan suasana. Ketika Presiden Soeharto kembali ke Jakarta dari Kairo pada 15 Mei pagi hari, Jakarta dalam keadaan perang saudara. Seruan agar ia turun datang dari berbagai penjuru. Setelah mencoba dengan sia-sia untuk memulihkan wewenangnya, presiden Soeharto mengaku kalah pada 21 Mei 1998. Presiden memilih jalan konstitusional dengan mengacu pada pasa 8 UUD 1945, ia menyatakan tidak sanggup lagi menjalankan tugasnya sebagai presiden dan menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J. Habibie (Lambert Giebels, 2005 : 258-261).


Berita pengunduran diri Soeharto segera menjadi berita dunia. Berbagai media menggambarkan bahwa seorang politis besar dunia era Perang Dingin telah turun takhta. Untuk pertama kalinya selama 32 tahun, Indonesia harus tumbuh tanpa dipimpin oleh Soeharto lagi. Kejadian ini sungguh dramatis. Tiga bulan sebelumnya, tak ada pengamat politik yang paling optimis sekalipun membanyangkan Soeharto akan turun dari kekuasaannya secepat ini. Begitu banyak manuver politik di Indonesia terjadi di luar dugaan. (Denny J.A, 2006 :20)

Oleh : Syamsul Arifin (Syamsul008)

No comments:

Post a Comment